Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Guntur Ismail mengatakan, ada beberapa kerugian yang timbul akibat penambahan jam belajar siswa. "Kesempatan siswa untuk mengembangkan diri melalui belajar tambahan akan tertutup," kata Guntur.
Dari berbagai pengamatan FSGI terhadap siswa tanah air, didapat simpulan bahwa siswa yang lebih unggul dalam pembelajaran adalah siswa yang aktif dan memiliki hobi membaca. Kelebihan itu tidak muncul tiba-tiba melainkan perlu adanya ketersediaan waktu yang dikelola oleh siswa dengan kerja sama berbagai pihak.
Adapun usaha pengelolaan waktu yang sudah dilakukan oleh siswa adalah menambah lagi waktu belajar di luar sekolah. Misalnya, melalui belajar mandiri, belajar kelompok di rumah siswa, kelompok ahli yang dipimpin tutor sebaya, dan les privat atau belajar tambahan di lembaga bimbingan belajar. "Pola belajar seperti ini menyenangkan siswa dan akan berujung pada keadaan sangat positif, yakni cepat tercapainya kompetensi dasar," ucapnya.
Pola belajar menyenangkan dan tidak membosankan, kata Guntur, adalah amanat kurikulum nasional. Untuk itu, FSGI menilai adanya penambahan jam belajar siswa bertentangan dengan tuntutan kurikulum nasional dan amanat PP Nomor19 Tahun 2005 yang mendorong tumbuhnya kreativitas dan minat baca siswa Indonesia. Penambahan jam belajar dinilai sebagai upaya tirani atau pengekangan terhadap emosi siswa. "Suatu saat, ini akan menimbulkan terjadinya ledakan emosi yang luar biasa," kata Guntur.
Menurut Guntur, adanya penambahan jam belajar juga akan berakibat pada tidak ada atau berkurangnya waktu bagi siswa untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Alasannya, siswa mengalami kelelahan sehingga kemungkinan besar, sepulang sekolah, siswa akan memilih istirahat (tidur). "Dari keadaan ini dapat diperkirakan peluang siswa yang tidak mengerjakan PR sangat besar dan risiko minat baca siswa semakin rendah," ujarnya.
Sumber : http://republika.co.id